http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/06/tgl/02/time/150248/idnews/949007/idkanal/10
Ini adalah komentar paling tidak bertanggung jawab yang saya pernah dengar. Siapa yang bermain api? Apakah AKK-BB ataukah FPI? AKK-BB sedang mengusungkan sebuah tema yang menjadi dasar negara ini: Bhinneka Tunggal Ika! Apakah menyatakan nilai nasionalitas adalah sikap yang tidak terpuji? Siapa yang sedang bermain api?
Apakah peran pemerintah sudah tidak berguna lagi sehingga Ormas memiliki privilege untuk menggunakan kekerasan? Apakah setiap orang tidak berhak bersuara di negeri ini?
Asal tahu saja, ada rasa takut yang timbul dari kaum non-mayoritas tentang keselamatan hidupnya, setidaknya itu yang saya rasakan. Ada ketakutan akan hari esok di mana sewaktu-waktu orang akan datang dan membakar tempat-tempat ibadah non-mayoritas. Setidaknya itu yang saya rasakan semenjak kasus Situbondo yang tak pernah diusut tuntas.
Rasa takut itu juga menyebabkan saya mempertimbangkan untuk meninggalkan UI dan berhenti mengurus Kambing, Open Source, smart card, dan lain sebagainya. Buat apa berbuat bagi negeri yang tidak pernah saya miliki? Seorang patriot rela membuang nyawanya demi ibu yang melahirkannya, tetapi tak akan ada anak haram yang mau mengakui ibunya kecuali malu akibat dilahirkan.
Tetapi, harapan tidak hilang. AKK-BB, Gusdur, dan umat Islam moderat lainnya justru membuat ketakutan itu tereduksi secara signifikan. Mereka mengangkat nilai kebangsaan di atas politik keberagamaan. Mereka menunjukkan bahwa agama adalah sikap hati bukan sebuah budaya yang dipaksakan. Sebuah nilai yang berusaha ditanamkan oleh para pendiri negeri ini.
Peristiwa FPI vs. AKK-BB sedang menunjukkan pada dunia, terutama pada bangsa Indonesia itu sendiri bahwa ada pertanyaan signifikan yang akan ditanyakan:
Apakah Indonesia masih negara Pancasila ataukah sudah menjadi negara satu agama?
Ya, benar sekali. Tanpa tersadar peristiwa di Monas telah mengkulminasi kebimbangan akan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah harus segera menyikapinya. Sebab, hal ini pada akhirnya akan berujung kepada disintegrasi bangsa.
Apakah ketakutan saya tidak masuk akal?
Pertama, sudah lama sekali nilai kebudayaan nasional tidak lagi ditanamkan.
Kedua, adanya otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penghapusan pemikiran feodal telah mengangkat raja-raja vasal yang memiliki laten akan disintegrasi. Dengan mudah mereka dapat menggerakkan massa dan menggapai dukungan. Apalagi, mereka ditunjang dengan penguasaan sumber daya alam di daerah mereka masing-masing.
Ketiga, rasa takut menyebabkan Indonesia semakin terfragmentasi dan membentuk kelompok-kelompok "minoritas". Minoritas adalah sebuah kata yang menyesatkan. Seberapa besarkah minoritas suatu kelompok? Badan Sensus Nasional tentunya takkan pernah bisa menjawab dari sensusnya tercemar fabrikasi. Setidaknya dari kasus dana BLT, jumlah kontestan Pemilu 2004, dan lain sebagainya jelas terlihat kinerja mereka.
Keempat, angkatan bersenjata Indonesia saat ini dipandang tidak memiliki cakupan yang luas untuk menjaga seluruh Indonesia. Apalagi, oknum-oknum di ketentaraan memanfaatkan korpsnya untuk kepentingan pribadi.
Kelima, gerakan-gerakan separatis sudah lama ada dan tinggal menunggu isu yang tepat untuk kembali berdiri.
Apakah dengan demikian negara ini akan bubar?
Saya rasa setiap kita yang telah menyelami peristiwa "10 November", perang Ambarawa, bahkan "Serangan Umum 1 Maret" akan mengagumi pembentukan negeri ini dengan nyawa, darah, dan air mata. Terlepas dari Bung Karno yang memiliki sisi hitam atau Pak Harto yang jatuh, atau pun banyak hal negatif lainnya.
Pancasila yang dibela itu nyata. Badan muda yang remuk oleh mortir Hindia Belanda itu nyata. Makam-makam tak bernama itu benar-benar ada! Mereka adalah pemuda dan pemudi tanpa nama. Mereka tak cemas akan dicemooh orang ketika Marga mereka tak lagi diturunkan dan nama keluarga mereka telah hilang dari silsilah.
Yang mereka paham, ada keluarga besar yang bernama Indonesia. Satu tumpah darah, satu tanah air, dan satu bahasa. Keluarga mereka ada dari Sabang sampai Merauke. Anak-anak mereka adalah mereka yang lahir dan tumbuh di Indonesia. Silsilah mereka bermula dari tegaknya Merah Putih di tanah air.
Inilah nilai semangat kebangsaan yang berusaha dihidupkan kembali. Perbedaan tanpa diskriminasi, seperti tertulis dalam Pancasila:
Itu yang membuat bangsa ini tetap berdiri dan bersatu padu. Padu artinya bukan homogen. Padu merupakan sebuah kata ketika entitas-entitas berbeda berkumpul dan mengeluarkan suara yang harmonis.
Terinspirasi dari tulisan Narpati:
http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2008/06/subversif.html
Ini adalah komentar paling tidak bertanggung jawab yang saya pernah dengar. Siapa yang bermain api? Apakah AKK-BB ataukah FPI? AKK-BB sedang mengusungkan sebuah tema yang menjadi dasar negara ini: Bhinneka Tunggal Ika! Apakah menyatakan nilai nasionalitas adalah sikap yang tidak terpuji? Siapa yang sedang bermain api?
Apakah peran pemerintah sudah tidak berguna lagi sehingga Ormas memiliki privilege untuk menggunakan kekerasan? Apakah setiap orang tidak berhak bersuara di negeri ini?
Asal tahu saja, ada rasa takut yang timbul dari kaum non-mayoritas tentang keselamatan hidupnya, setidaknya itu yang saya rasakan. Ada ketakutan akan hari esok di mana sewaktu-waktu orang akan datang dan membakar tempat-tempat ibadah non-mayoritas. Setidaknya itu yang saya rasakan semenjak kasus Situbondo yang tak pernah diusut tuntas.
Rasa takut itu juga menyebabkan saya mempertimbangkan untuk meninggalkan UI dan berhenti mengurus Kambing, Open Source, smart card, dan lain sebagainya. Buat apa berbuat bagi negeri yang tidak pernah saya miliki? Seorang patriot rela membuang nyawanya demi ibu yang melahirkannya, tetapi tak akan ada anak haram yang mau mengakui ibunya kecuali malu akibat dilahirkan.
Tetapi, harapan tidak hilang. AKK-BB, Gusdur, dan umat Islam moderat lainnya justru membuat ketakutan itu tereduksi secara signifikan. Mereka mengangkat nilai kebangsaan di atas politik keberagamaan. Mereka menunjukkan bahwa agama adalah sikap hati bukan sebuah budaya yang dipaksakan. Sebuah nilai yang berusaha ditanamkan oleh para pendiri negeri ini.
Peristiwa FPI vs. AKK-BB sedang menunjukkan pada dunia, terutama pada bangsa Indonesia itu sendiri bahwa ada pertanyaan signifikan yang akan ditanyakan:
Apakah Indonesia masih negara Pancasila ataukah sudah menjadi negara satu agama?
Ya, benar sekali. Tanpa tersadar peristiwa di Monas telah mengkulminasi kebimbangan akan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah harus segera menyikapinya. Sebab, hal ini pada akhirnya akan berujung kepada disintegrasi bangsa.
Apakah ketakutan saya tidak masuk akal?
Pertama, sudah lama sekali nilai kebudayaan nasional tidak lagi ditanamkan.
Kedua, adanya otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penghapusan pemikiran feodal telah mengangkat raja-raja vasal yang memiliki laten akan disintegrasi. Dengan mudah mereka dapat menggerakkan massa dan menggapai dukungan. Apalagi, mereka ditunjang dengan penguasaan sumber daya alam di daerah mereka masing-masing.
Ketiga, rasa takut menyebabkan Indonesia semakin terfragmentasi dan membentuk kelompok-kelompok "minoritas". Minoritas adalah sebuah kata yang menyesatkan. Seberapa besarkah minoritas suatu kelompok? Badan Sensus Nasional tentunya takkan pernah bisa menjawab dari sensusnya tercemar fabrikasi. Setidaknya dari kasus dana BLT, jumlah kontestan Pemilu 2004, dan lain sebagainya jelas terlihat kinerja mereka.
Keempat, angkatan bersenjata Indonesia saat ini dipandang tidak memiliki cakupan yang luas untuk menjaga seluruh Indonesia. Apalagi, oknum-oknum di ketentaraan memanfaatkan korpsnya untuk kepentingan pribadi.
Kelima, gerakan-gerakan separatis sudah lama ada dan tinggal menunggu isu yang tepat untuk kembali berdiri.
Apakah dengan demikian negara ini akan bubar?
Saya rasa setiap kita yang telah menyelami peristiwa "10 November", perang Ambarawa, bahkan "Serangan Umum 1 Maret" akan mengagumi pembentukan negeri ini dengan nyawa, darah, dan air mata. Terlepas dari Bung Karno yang memiliki sisi hitam atau Pak Harto yang jatuh, atau pun banyak hal negatif lainnya.
Pancasila yang dibela itu nyata. Badan muda yang remuk oleh mortir Hindia Belanda itu nyata. Makam-makam tak bernama itu benar-benar ada! Mereka adalah pemuda dan pemudi tanpa nama. Mereka tak cemas akan dicemooh orang ketika Marga mereka tak lagi diturunkan dan nama keluarga mereka telah hilang dari silsilah.
Yang mereka paham, ada keluarga besar yang bernama Indonesia. Satu tumpah darah, satu tanah air, dan satu bahasa. Keluarga mereka ada dari Sabang sampai Merauke. Anak-anak mereka adalah mereka yang lahir dan tumbuh di Indonesia. Silsilah mereka bermula dari tegaknya Merah Putih di tanah air.
Inilah nilai semangat kebangsaan yang berusaha dihidupkan kembali. Perbedaan tanpa diskriminasi, seperti tertulis dalam Pancasila:
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Itu yang membuat bangsa ini tetap berdiri dan bersatu padu. Padu artinya bukan homogen. Padu merupakan sebuah kata ketika entitas-entitas berbeda berkumpul dan mengeluarkan suara yang harmonis.
Terinspirasi dari tulisan Narpati:
http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2008/06/subversif.html
Comments
Post a Comment