Sodara2, kalo kita mau maen salah2an agama, seluruh agama di dunia akan ada cacatnya. Kenapa? Karena kebanyakan agama yang kita anut itu telah berlangsung lebih dari 1000 tahun yang lalu, di mana waktu tersebut cukup untuk mengikis benda2 artifak penting sebagai bukti.
Setiap agama pasti dianggap aneh oleh orang yang tidak memeluknya, bahkan cenderung untuk dicela. Wajar aja, soalnya ini sama seperti seseorang memandang anak jalanan. Bagi orang yang melihat sambil lalu pasti mencela dan menganggap mereka sampah. Tetapi, bagi yang mau terjun di dalamnya, akan ditemukan simpati atas kerasnya hidup mereka dan cenderung untuk mau menolong dan mengayomi.
Saya percaya kepada Yesus Kristus karena saya merasakan sukacita, damai sejahtera, dan kecukupan di dalam Kekristenan. Saya membayangkan diri saya akan kehilangan yang sangat apabila saya di luar Kristus. Maka, ketika subyektivitas itu sudah ada di dalam saya, saya akan menganggap yang lain itu sebagai sesuatu yang salah. Maka, secara keilmuan, saya sudah tidak kompeten untuk menyatakan hal tersebut oleh karena subyektivitas saya.
Jadi, sodara2, kalau memang hendak mengadakan komparasi agama, Anda perlu memandang semua agama pada level yang sama. Bahkan, menurut ilmu pembuktian ilmiah, ini yang harus Anda lakukan:
Lalu, apakah kita semua rame2 jadi ateis?
Gak bisa dibuktiin kalo Tuhan itu ada, bukan berarti juga bisa dibuktiin bahwa Tuhan itu gak ada. Beberapa catatan medis mencatat adanya reaksi abnormal dalam penyembuhan. Bahkan, ada catatan2 mengenai visitasi spiritual. Sekali lagi, tidak bisa dibuktikan bahwa itu adalah dari Tuhan atau hanya kebetulan biasa karena tidak ada yang menelitinya secara empirik dan ilmiah.
Sebagai contoh, saya terlahir di keluarga di mana Kakek saya adalah seorang penginjil di Samosir sana. Banyak orang kampung sana yang menceritakan bagaimana mukjizat yang dilakukan oleh kakek saya. Apakah itu benar? Saya cuma bilang, saya belum lahir saat itu sehingga saya berhak untuk menyatakan bahwa itu benar atau tidak.
Dalam perjalanan hidup saya juga, saya merasakan apa yang disebut sebagai pertolongan Tuhan (ditabrak tapi selamat, doa dikabulkan, dst). Apakah itu adalah sebagai bukti? Saya katakan sekali lagi, bahwa itu bisa saja karena emosi saya dan saya berasumsi berdasarkan nilai2 Kekristenan yang ada dalam saya. Tetapi, apakah hal2 tersebut mutlak kebetulan juga tidak sebab setiap kebetulan tersebut dapat juga dikatakan mukjizat.
Bagaimana Anda dapat memandang kehidupan adalah seperti teori Relativitas, tergantung dari sudut mana Anda memandangnya.
Saya hanya berprinsip, ada 50% kemungkinan bahwa Tuhan itu ada, dan ada 50% kemungkinan bahwa Tuhan itu tidak ada. Kalau saya percaya bahwa Tuhan itu ada tetapi ternyata tidak ada, saya tidak kehilangan apa pun. Saya hanya menghilang dari dunia ini sebagai suatu eksistensi dan didaur ulang oleh alam. Tetapi, seandainya saya percaya bahwa Tuhan itu tidak ada dan ternyata Dia benar2 ada, alangkah malangnya saya harus menderita dalam api Neraka.
Jadi, apa salahnya kalau saya percaya bahwa Tuhan ada?
Lagipula, dalam pengalaman hidup saya, berbagai hal menguatkan saya akan penyertaan Tuhan. Saya melihat bagaimana saya diselamatkan dari lingkungan kehidupan nakal. Saya merasakan kedamaian abadi dan kepuasan dalam hidup. Hal itu pula yang mendorong saya untuk tetap ideal dan mendukung gerakan open source. Berbagai pengalaman hidup saya juga mengajarkan bagaimana Tuhan mencukupkan kebutuhan saya.
Maka, untuk alasan pribadi ini, saya memutuskan untuk percaya kepada-Nya. Yeah, saya tahu saya tidak sempurna.
Setiap agama pasti dianggap aneh oleh orang yang tidak memeluknya, bahkan cenderung untuk dicela. Wajar aja, soalnya ini sama seperti seseorang memandang anak jalanan. Bagi orang yang melihat sambil lalu pasti mencela dan menganggap mereka sampah. Tetapi, bagi yang mau terjun di dalamnya, akan ditemukan simpati atas kerasnya hidup mereka dan cenderung untuk mau menolong dan mengayomi.
Saya percaya kepada Yesus Kristus karena saya merasakan sukacita, damai sejahtera, dan kecukupan di dalam Kekristenan. Saya membayangkan diri saya akan kehilangan yang sangat apabila saya di luar Kristus. Maka, ketika subyektivitas itu sudah ada di dalam saya, saya akan menganggap yang lain itu sebagai sesuatu yang salah. Maka, secara keilmuan, saya sudah tidak kompeten untuk menyatakan hal tersebut oleh karena subyektivitas saya.
Jadi, sodara2, kalau memang hendak mengadakan komparasi agama, Anda perlu memandang semua agama pada level yang sama. Bahkan, menurut ilmu pembuktian ilmiah, ini yang harus Anda lakukan:
- Menempatkan agama yang Anda percayai sebagai suatu kesalahan alias sesat.
- Buktikan bahwa itu sesat dengan mencari satu saja kecacatan.
- Jika ternyata tidak dapat dibuktikan satu kesalahan pun, maka dapat disimpulkan bahwa ia valid (selalu benar).
- Adanya Tuhan.
Ada yang pernah membuktikan secara empiris dan bukti fisiologis Tuhan seperti apa? - Kitab suci yang sahih.
Ada tulisan yang diakui oleh dunia ilmiah yang mendukung tulisan tersebut? Bahkan, kitab suci tidak mempunyai hipotesis awal yang didasarkan pada penelitian pendahulunya yang diakui oleh dunia ilmiah. - Adanya surga dan neraka.
Ada yang pernah lihat secara langsung?
Lalu, apakah kita semua rame2 jadi ateis?
Gak bisa dibuktiin kalo Tuhan itu ada, bukan berarti juga bisa dibuktiin bahwa Tuhan itu gak ada. Beberapa catatan medis mencatat adanya reaksi abnormal dalam penyembuhan. Bahkan, ada catatan2 mengenai visitasi spiritual. Sekali lagi, tidak bisa dibuktikan bahwa itu adalah dari Tuhan atau hanya kebetulan biasa karena tidak ada yang menelitinya secara empirik dan ilmiah.
Sebagai contoh, saya terlahir di keluarga di mana Kakek saya adalah seorang penginjil di Samosir sana. Banyak orang kampung sana yang menceritakan bagaimana mukjizat yang dilakukan oleh kakek saya. Apakah itu benar? Saya cuma bilang, saya belum lahir saat itu sehingga saya berhak untuk menyatakan bahwa itu benar atau tidak.
Dalam perjalanan hidup saya juga, saya merasakan apa yang disebut sebagai pertolongan Tuhan (ditabrak tapi selamat, doa dikabulkan, dst). Apakah itu adalah sebagai bukti? Saya katakan sekali lagi, bahwa itu bisa saja karena emosi saya dan saya berasumsi berdasarkan nilai2 Kekristenan yang ada dalam saya. Tetapi, apakah hal2 tersebut mutlak kebetulan juga tidak sebab setiap kebetulan tersebut dapat juga dikatakan mukjizat.
Bagaimana Anda dapat memandang kehidupan adalah seperti teori Relativitas, tergantung dari sudut mana Anda memandangnya.
Saya hanya berprinsip, ada 50% kemungkinan bahwa Tuhan itu ada, dan ada 50% kemungkinan bahwa Tuhan itu tidak ada. Kalau saya percaya bahwa Tuhan itu ada tetapi ternyata tidak ada, saya tidak kehilangan apa pun. Saya hanya menghilang dari dunia ini sebagai suatu eksistensi dan didaur ulang oleh alam. Tetapi, seandainya saya percaya bahwa Tuhan itu tidak ada dan ternyata Dia benar2 ada, alangkah malangnya saya harus menderita dalam api Neraka.
Jadi, apa salahnya kalau saya percaya bahwa Tuhan ada?
Lagipula, dalam pengalaman hidup saya, berbagai hal menguatkan saya akan penyertaan Tuhan. Saya melihat bagaimana saya diselamatkan dari lingkungan kehidupan nakal. Saya merasakan kedamaian abadi dan kepuasan dalam hidup. Hal itu pula yang mendorong saya untuk tetap ideal dan mendukung gerakan open source. Berbagai pengalaman hidup saya juga mengajarkan bagaimana Tuhan mencukupkan kebutuhan saya.
Maka, untuk alasan pribadi ini, saya memutuskan untuk percaya kepada-Nya. Yeah, saya tahu saya tidak sempurna.
apa salahnya kalau anda 100% percaya bahwa tuhan itu ada, bukankah itu (100%) lebih baik (dari pada 50%), toh tidak ada ruginya walaupun anda investasikan 0% kepercayaan anda bahwa tuhan itu tidak ada, seperti kutipan anda "Kalau saya percaya bahwa Tuhan itu ada tetapi ternyata tidak ada, saya tidak kehilangan apa pun"
ReplyDelete~setuju bahwa agama adalah hak pribadi
~(OOT)tidak setuju dengan pemalsuan agama seperti yang marak terjadi belakangan ini
@anonymous:
ReplyDeleteGak ada yang salah dengan percaya kepada Tuhan 100%, cuma akhir2 ini orang suka mengadakan diskriminasi kepada pemeluk agama dengan melakukan pelecehan secara skeptis.