Narpati dengan berapi menuliskan apologetika perjuangan Indonesia yang terkesan ngawur. [1] Hal ini akibat sebuah eksposisi menggelitik yang dilakukan oleh Joko Su'ud untuk perenungan akan negara ini. [2] Apakah arti dari sebuah perjuangan negara ini?
Sebelum saya membahas, perlu saya sanggah sangkaan Narpati bahwa Tan Malaka erat dengan PKI dan pemberontakannya. Tempo minggu ini membahas Tan Malaka dan dari situ kita dapat simpulkan bahwa Tan Malaka justru bersebrangan dengan tokoh PKI karena Tan Malaka mendukung peleburan sosialisme dan Islam. [3] Tan Malaka justru dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab sehingga seakan-akan meragukan pemerintahan waktu itu. [4] Bukankah Tan Malaka-lah yang mengumpulkan orang-orang di lapangan Ikada sebagai bentuk dukungan terhadap proklamasi pemerintahan Indonesia? [3] Beliau juga jelas sekali turut membela dalam melawan agresi Belanda dan menolak pemberontakan Madiun. [5]
Tan Malaka dalam pemikirannya di Aksi Masa menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya terjajah dalam bentuk pemikiran. Feodalisme! Inilah bentuk penjajahan yang dialami Indonesia selama bertahun-tahun, jauh lebih lama dari 350 tahun kolonialisasi Belanda dan 5 tahun Jepang. Setidaknya buku sejarah SMA-ku mencatat bahwa ketika masa politik etis dan undang-undang agraris, dalam bahasa eufimisme tentunya, pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum bangsawan pribumi.
Ketika bangsa Belanda kehabisan dana akibat perang Aceh, kebijakan tanam paksa yang seharusnya hanya mewajibkan 1/5 hasil tanah untuk pemerintah Belanda, malah dipakai untuk memeras para petani. Ya, mereka yang dianggap sebagai bangsawan pribumi adalah pemeras-pemeras yang menyebabkan perbudakan hingga ke Suriname. Itu sebabnya, ketika kritik oleh Max Havelaar dilakukan, bangsa Belanda terbuka matanya dan melakukan protes kepada pemerintah Belanda. Hal ini sama seperti perang Vietnam, ketika itu pers dan militer AS berteman baik. Situasi ini berbalik ketika pemberitaan bahwa tentara AS membakar desa-desa untuk mengusir Vietkong yang justru membuat rakyat Vietnam semakin pro Vietkong.
Apakah para pahlawan murni? Tidak. Kesalahan penulisan sejarah bangsa ini adalah pengelukan terhadap pahlawan seakan-akan seperti kepada para nabi. Mereka punya kepentingan yang berbeda dan cacat juga. Satu tokoh yang saya paling kritik (tentunya saya tetap hormati dia) adalah Soekarno. Beliau menjadikan republik ini bak sebuah kerajaan dan perilaku beliau yang mata keranjang juga menyebabkan banyak tudingan terhadap kebijakannya. Kebijakan politik Mercusuarnya bertentangan terhadap Koperasi bentukan Hatta dan malah menjadikan kapitalisme berkuasa.
Apakah dengan demikian saya menjadi tidak respek terhadap beliau? Tentu tidak! Saya kagum terhadap beliau dan saya merasa bahwa beliau juga adalah salah satu bapak negara ini. Tetapi, demitologi terhadap beliau adalah salah. Saya percaya beliau adalah salah satu pahlawan yang membentuk negara ini.
Salah satu penghambat dalam kemajuan Indonesia adalah karena hilangnya identitas kebangsaan dalam negara ini. Hal ini dipicu oleh karena penulisan sejarah yang simpang siur oleh pemerintah sehingga bangsa ini memendam setiap permasalahan yang ada. Salah satu bahaya dari pendongengan sejarah (demitologi tokoh-tokoh pahlawan nasional) adalah hancurnya kepercayaan masyarakat kepada tokoh yang ada saat ini. Masyarakat yang biasa terbuai oleh mimpi. Sehingga, mereka menolak gagasan kepahlawanan yang diberikan tokoh saat ini.
Hal ini sama seperti kasus Reinnasance yang menyebabkan agama menjadi kontra produktif. Mereka menyamakan agama (Kristen) sebagai bagian dari borjuis. Akibatnya, saat ini kekristenan di Eropa mengalami keterpurukan dan perlawanan dari Atheisme, paham Liberal, dan Hedonisme. Indonesia juga mengalami keterpurukan patriotisme akibat hal demikian.
Bertahun-tahun Orde Baru membangun patriotisme dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan namun menolak ide-ide berbeda. Pluralisme diganti dengan semangan kesatuan yang condong kepada pemaksaan ide. Tanpa penjelasan yang berdasar, ide-ide aliran kiri maupun aliran kanan diberangus. Akibatnya, api-api ketidakpuasan terbenam dalam sekam dan bertahan.
Ketika Orde baru runtuh, runtuh pula idealisme yang dibangun bersama-sama dengannya. Celakanya, ide tentang persatuan dan kesatuan juga ikut. Padahal, tak semua yang dibawa olehnya adalah ide yang salah. Bahkan, saya pun mendukung ide-ide fundamental seperti Pancasila dan UUD'45. Saya hanya bisa terdiam dan terpaku (halah) tatkala MPR mengubah UUD'45 dengan seenaknya.
Indonesia butuh sejarah bukan dongeng. Betapa pun rusaknya seorang tokoh, mereka punya andil dalam pembentukan negara ini. Setiap mereka perlu dihargai! Kita perlu sejarah untuk diluruskan, betapa kelamnya itu untuk rekonsiliasi dan melihat luka-luka yang perlu disembuhkan.
Ketika sejarah dituliskan dengan benar, jati diri bangsa ini bisa melihat dirinya sendiri. Saat itu, nilai-nilai kebangsaan dapat ditulis dalam proporsinya. Kesatuan dapat terdefinisi dengan benar, bukan euforia belaka dan bukan pemaksaan. Saat itu, bangsa ini bisa menjadi dewasa dan melangkah maju. Mereka yang mati bagi republik ini pun dapat tersenyum bangga dalam kuburnya, mengetahui bahwa tongkat estafet perjuangan telah diterima dengan baik oleh generasi penerus.
[1] http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2008/08/undangan-makan-makan-buat-fasilkom-2002.html
[2] http://www.detiknews.com/read/2008/08/06/092018/983633/103/merdeka-tapi-ngawur
[3] Tempo edisi Minggu II Agustus, edisi spesial Tan Malaka.
[4] http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-02/msg00976.html
[5] http://anusapati.blogdetik.com/2008/07/27/polemik-tan-malaka/
Sebelum saya membahas, perlu saya sanggah sangkaan Narpati bahwa Tan Malaka erat dengan PKI dan pemberontakannya. Tempo minggu ini membahas Tan Malaka dan dari situ kita dapat simpulkan bahwa Tan Malaka justru bersebrangan dengan tokoh PKI karena Tan Malaka mendukung peleburan sosialisme dan Islam. [3] Tan Malaka justru dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab sehingga seakan-akan meragukan pemerintahan waktu itu. [4] Bukankah Tan Malaka-lah yang mengumpulkan orang-orang di lapangan Ikada sebagai bentuk dukungan terhadap proklamasi pemerintahan Indonesia? [3] Beliau juga jelas sekali turut membela dalam melawan agresi Belanda dan menolak pemberontakan Madiun. [5]
Tan Malaka dalam pemikirannya di Aksi Masa menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya terjajah dalam bentuk pemikiran. Feodalisme! Inilah bentuk penjajahan yang dialami Indonesia selama bertahun-tahun, jauh lebih lama dari 350 tahun kolonialisasi Belanda dan 5 tahun Jepang. Setidaknya buku sejarah SMA-ku mencatat bahwa ketika masa politik etis dan undang-undang agraris, dalam bahasa eufimisme tentunya, pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum bangsawan pribumi.
Ketika bangsa Belanda kehabisan dana akibat perang Aceh, kebijakan tanam paksa yang seharusnya hanya mewajibkan 1/5 hasil tanah untuk pemerintah Belanda, malah dipakai untuk memeras para petani. Ya, mereka yang dianggap sebagai bangsawan pribumi adalah pemeras-pemeras yang menyebabkan perbudakan hingga ke Suriname. Itu sebabnya, ketika kritik oleh Max Havelaar dilakukan, bangsa Belanda terbuka matanya dan melakukan protes kepada pemerintah Belanda. Hal ini sama seperti perang Vietnam, ketika itu pers dan militer AS berteman baik. Situasi ini berbalik ketika pemberitaan bahwa tentara AS membakar desa-desa untuk mengusir Vietkong yang justru membuat rakyat Vietnam semakin pro Vietkong.
Apakah para pahlawan murni? Tidak. Kesalahan penulisan sejarah bangsa ini adalah pengelukan terhadap pahlawan seakan-akan seperti kepada para nabi. Mereka punya kepentingan yang berbeda dan cacat juga. Satu tokoh yang saya paling kritik (tentunya saya tetap hormati dia) adalah Soekarno. Beliau menjadikan republik ini bak sebuah kerajaan dan perilaku beliau yang mata keranjang juga menyebabkan banyak tudingan terhadap kebijakannya. Kebijakan politik Mercusuarnya bertentangan terhadap Koperasi bentukan Hatta dan malah menjadikan kapitalisme berkuasa.
Apakah dengan demikian saya menjadi tidak respek terhadap beliau? Tentu tidak! Saya kagum terhadap beliau dan saya merasa bahwa beliau juga adalah salah satu bapak negara ini. Tetapi, demitologi terhadap beliau adalah salah. Saya percaya beliau adalah salah satu pahlawan yang membentuk negara ini.
Salah satu penghambat dalam kemajuan Indonesia adalah karena hilangnya identitas kebangsaan dalam negara ini. Hal ini dipicu oleh karena penulisan sejarah yang simpang siur oleh pemerintah sehingga bangsa ini memendam setiap permasalahan yang ada. Salah satu bahaya dari pendongengan sejarah (demitologi tokoh-tokoh pahlawan nasional) adalah hancurnya kepercayaan masyarakat kepada tokoh yang ada saat ini. Masyarakat yang biasa terbuai oleh mimpi. Sehingga, mereka menolak gagasan kepahlawanan yang diberikan tokoh saat ini.
Hal ini sama seperti kasus Reinnasance yang menyebabkan agama menjadi kontra produktif. Mereka menyamakan agama (Kristen) sebagai bagian dari borjuis. Akibatnya, saat ini kekristenan di Eropa mengalami keterpurukan dan perlawanan dari Atheisme, paham Liberal, dan Hedonisme. Indonesia juga mengalami keterpurukan patriotisme akibat hal demikian.
Bertahun-tahun Orde Baru membangun patriotisme dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan namun menolak ide-ide berbeda. Pluralisme diganti dengan semangan kesatuan yang condong kepada pemaksaan ide. Tanpa penjelasan yang berdasar, ide-ide aliran kiri maupun aliran kanan diberangus. Akibatnya, api-api ketidakpuasan terbenam dalam sekam dan bertahan.
Ketika Orde baru runtuh, runtuh pula idealisme yang dibangun bersama-sama dengannya. Celakanya, ide tentang persatuan dan kesatuan juga ikut. Padahal, tak semua yang dibawa olehnya adalah ide yang salah. Bahkan, saya pun mendukung ide-ide fundamental seperti Pancasila dan UUD'45. Saya hanya bisa terdiam dan terpaku (halah) tatkala MPR mengubah UUD'45 dengan seenaknya.
Indonesia butuh sejarah bukan dongeng. Betapa pun rusaknya seorang tokoh, mereka punya andil dalam pembentukan negara ini. Setiap mereka perlu dihargai! Kita perlu sejarah untuk diluruskan, betapa kelamnya itu untuk rekonsiliasi dan melihat luka-luka yang perlu disembuhkan.
Ketika sejarah dituliskan dengan benar, jati diri bangsa ini bisa melihat dirinya sendiri. Saat itu, nilai-nilai kebangsaan dapat ditulis dalam proporsinya. Kesatuan dapat terdefinisi dengan benar, bukan euforia belaka dan bukan pemaksaan. Saat itu, bangsa ini bisa menjadi dewasa dan melangkah maju. Mereka yang mati bagi republik ini pun dapat tersenyum bangga dalam kuburnya, mengetahui bahwa tongkat estafet perjuangan telah diterima dengan baik oleh generasi penerus.
[1] http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2008/08/undangan-makan-makan-buat-fasilkom-2002.html
[2] http://www.detiknews.com/read/2008/08/06/092018/983633/103/merdeka-tapi-ngawur
[3] Tempo edisi Minggu II Agustus, edisi spesial Tan Malaka.
[4] http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-02/msg00976.html
[5] http://anusapati.blogdetik.com/2008/07/27/polemik-tan-malaka/
Comments
Post a Comment