Kecenderungan para tokoh mencampur Bahasa Indonesia dengan bahasa asing adalah sebuah kecenderungan yang perlu diwaspadai. Apalagi, jika memang tokoh itu adalah seorang tokoh nasional, maka hal tersebut tidaklah dapat dipahami sebagai suatu sikap yang tepat. Tidak bisa tidak, seorang tokoh nasional seharusnya menjadi panutan dalam menegakkan satu dari tiga anasir pemersatu bangsa ini.
Dari hasil analisis pribadi saya, perilaku membahasaasingkan sebuah makna adalah cenderung hanya untuk bergaya. Coba Anda perhatikan setiap wawancara dengan politikus, pasti mereka sebisa mungkin menggunakan istilah asing untuk menunjukkan kecakapan mereka. Tetapi, seringkali penyebutan istilah-istilah tersebut salah tempat dan justru menunjukkan mereka hanya canggih dalam berkata.
Mengapa harus menggunakan istilah asing? Mengapa tidak mulai dengan mengoinisasi istilah tersebut dalam Bahasa Indonesia?
Ada dua hal yang menyebabkan keberatan saya atas penggunaan istilah asing daripada padanan tepatnya yang dalam Bahasa Indonesia:
Coba Anda tengok kepada negara-negara yang kuat: orang Inggris bangga dengan English, orang Cina bangga dengan Mandarin, orang Jepang bangga dengan Kanji dan Hiragana/Katakana, dan orang Arab bangga dengan bahasa Arab. Mengapa bangsa ini justru tidak bangga dengan Bahasa Indonesia?
Anda bukan pemimpin saya jika Anda tidak tahu bagaimana berbahasa!
Dari hasil analisis pribadi saya, perilaku membahasaasingkan sebuah makna adalah cenderung hanya untuk bergaya. Coba Anda perhatikan setiap wawancara dengan politikus, pasti mereka sebisa mungkin menggunakan istilah asing untuk menunjukkan kecakapan mereka. Tetapi, seringkali penyebutan istilah-istilah tersebut salah tempat dan justru menunjukkan mereka hanya canggih dalam berkata.
Mengapa harus menggunakan istilah asing? Mengapa tidak mulai dengan mengoinisasi istilah tersebut dalam Bahasa Indonesia?
Ada dua hal yang menyebabkan keberatan saya atas penggunaan istilah asing daripada padanan tepatnya yang dalam Bahasa Indonesia:
- Penggunaan istilah asing dimaksudkan untuk menguatkan intelektualitas pembicara. Hal ini dengan demikian menyatakan secara implisit bahwa Bahasa Indonesia adalah sebuah bahasa rendahan. Maka, apakah patut bagi tokoh nasional menempatkan salah satu anasir pemersatu sebagai suatu yang rendah?
- Penggunaan istilah asing juga lebih banyak membingungkan orang-orang yang tidak pernah ada dalam ranah pembicara. Tidak adanya usaha memperkaya bahasa Indonesia mengecilkan perannya sebagai alat komunikasi. Sosialisasi penggunaan Bahasa Indonesia menjadikannya juga tidak berkembang. Dengan demikian, bukankah Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang merupakan sebuah alat komunikasi menjadi gagal?
Coba Anda tengok kepada negara-negara yang kuat: orang Inggris bangga dengan English, orang Cina bangga dengan Mandarin, orang Jepang bangga dengan Kanji dan Hiragana/Katakana, dan orang Arab bangga dengan bahasa Arab. Mengapa bangsa ini justru tidak bangga dengan Bahasa Indonesia?
Anda bukan pemimpin saya jika Anda tidak tahu bagaimana berbahasa!
"A Place where I don't know what I said"
ReplyDelete"whoami"
"I have better understanding about life, I value life more than others. That's why people seems see me mistakenly. But, I admire people that have different type of views"
"Support IGOS Summit 2"
"review"
Hihihihihihi
"Indonesia Linux Conference"
ReplyDelete"BlankOn" => dari Blank jadi On =D
Blog ini, Jep ??
ReplyDeletexD
Hehehe... blog ini khan exercise atau latihan untuk menulis dan mencurahkan pikiran. Bahkan, sebagai pembelajaran bahasa Inggris (thx to Mahli et. al.).
ReplyDeleteLihat dari purpose disediakannya blog ini dong. Silahkan baca early post-post yang crutial.
Wakakaka... Jijik benerlah bahasanya.:D
wkwkwkwk
ReplyDeletekita sendiri yg ngrusak bahasa kita...SECARA gitu loh!!!
how the word "secara" replace "karena" is beyond my sanity
Jepe.. it should be "crucial" instead of "crutial" :D
ReplyDelete