Kebanyakan orang kota telah kehilangan. Mereka kehilangan keluarganya, kehilangan teman-teman, dan kehilangan dirinya. Gaya hidup yang serba instan dan cepat dalam kehidupan kota telah membuat orang-orang kesepian di keramaian. Yup! Kesepian dalam keramaian.
Coba lihat, di antara orang yang lalu lalang, tidak satupun yang mengenal satu sama lain. Interaksi sosial tidak terjadi di dalamnya. Makanya orang kota lebih gampang stres.
Hal ini diperburuk dengan semakin mudahnya memperoleh sesuatu. Yup! Semakin mudah memperoleh sesuatu seseorang semakin tidak bisa menghargai sesuatu. Mereka yang biasa memperoleh dengan mudah jadi kehilangan. Wajar saja, perjuangan untuk mencapai sesuatu adalah yang manusia butuhkan dan mereka kehilangan hak mereka untuk berjuang.
Itu makanya, orang yang telah dipuncak kesuksesan gampang jatuh. Mereka tidak mengerti lagi apa yang hendak dilakukan karena mereka telah selesai berjuang.
Hal ini sesuai dengan hukum eksistensi yang ada: Aku ada karena berpikir. Aku adalah apa yang kulakukan, apa yang kukatakan, apa yang ada padaku.
Jika telah selesai pencapaian itu, maka manusia kemudian bertanya: Lalu apa (Then what)? Karena mereka masih hidup.
Hal ini yang dipergunakan oleh para pemimpin teroris itu. Mereka merekrut orang-orang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Mereka menunjukkan kesenjangan yang terjadi antara orang-orang itu dengan orang-orang kaya. Kemudian, mereka menunjukkan musuh bersama. Untuk lebih afdol, mereka menunjukkan mayat-mayat mutilasi dengan dalih korban perang dari musuh bersama itu.
Kemudian, untuk pelengkap terakhir, orang-orang miskin itu diberikan janji muluk: sorga bagi yang rela mati. Lagipula, buat apa hidup terus di bawah penderitaan, lebih baik mati secara terhormat.
Well, jadi, deh, orang-orang yang dipasangin bom, terus disuruh bunuh diri.
Moral dari cerita di atas, orang berusaha mencari tujuan hidup, arti hidup, dan guna hidup.
Orang lebih menyukai kematian dalam pencapaian daripada hidup dalam pencapaian, karena mereka tidak menemukan esensi dari pencapaian hidup mereka. Cobalah untuk mulai peduli kepada orang lain. Cobalah menolong orang lain, tanpa mengharapkan jasa ataupun imbalan.
Pada awalnya hal di atas terasa merugikan, namun bila ditekuni, seseorang bisa menemukan kebahagian sejati dan dan kesenangan yang sempurna dari tawa dan senyum mereka yang telah dibantunya.
Eng.. ngerti gak?
Intinya, manusia menemukan hidup dari perjuangan untuk mencapai sesuatu dan kebahagiaan dari memberi sesuatu. Kalo begitu, kenapa enggak kita hidup dengan tujuan membahagiakan orang lain?
Di sanalah engkau akan menemukan kebahagiaan hidup. Trust me, Mother Theressa knows it well. Alexander Graham Bell too. Don't forget Marrie Currie. Oh, how 'bout Gandhi?
Coba lihat, di antara orang yang lalu lalang, tidak satupun yang mengenal satu sama lain. Interaksi sosial tidak terjadi di dalamnya. Makanya orang kota lebih gampang stres.
Hal ini diperburuk dengan semakin mudahnya memperoleh sesuatu. Yup! Semakin mudah memperoleh sesuatu seseorang semakin tidak bisa menghargai sesuatu. Mereka yang biasa memperoleh dengan mudah jadi kehilangan. Wajar saja, perjuangan untuk mencapai sesuatu adalah yang manusia butuhkan dan mereka kehilangan hak mereka untuk berjuang.
Itu makanya, orang yang telah dipuncak kesuksesan gampang jatuh. Mereka tidak mengerti lagi apa yang hendak dilakukan karena mereka telah selesai berjuang.
Hal ini sesuai dengan hukum eksistensi yang ada: Aku ada karena berpikir. Aku adalah apa yang kulakukan, apa yang kukatakan, apa yang ada padaku.
Jika telah selesai pencapaian itu, maka manusia kemudian bertanya: Lalu apa (Then what)? Karena mereka masih hidup.
Hal ini yang dipergunakan oleh para pemimpin teroris itu. Mereka merekrut orang-orang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Mereka menunjukkan kesenjangan yang terjadi antara orang-orang itu dengan orang-orang kaya. Kemudian, mereka menunjukkan musuh bersama. Untuk lebih afdol, mereka menunjukkan mayat-mayat mutilasi dengan dalih korban perang dari musuh bersama itu.
Kemudian, untuk pelengkap terakhir, orang-orang miskin itu diberikan janji muluk: sorga bagi yang rela mati. Lagipula, buat apa hidup terus di bawah penderitaan, lebih baik mati secara terhormat.
Well, jadi, deh, orang-orang yang dipasangin bom, terus disuruh bunuh diri.
Moral dari cerita di atas, orang berusaha mencari tujuan hidup, arti hidup, dan guna hidup.
Orang lebih menyukai kematian dalam pencapaian daripada hidup dalam pencapaian, karena mereka tidak menemukan esensi dari pencapaian hidup mereka. Cobalah untuk mulai peduli kepada orang lain. Cobalah menolong orang lain, tanpa mengharapkan jasa ataupun imbalan.
Pada awalnya hal di atas terasa merugikan, namun bila ditekuni, seseorang bisa menemukan kebahagian sejati dan dan kesenangan yang sempurna dari tawa dan senyum mereka yang telah dibantunya.
Eng.. ngerti gak?
Intinya, manusia menemukan hidup dari perjuangan untuk mencapai sesuatu dan kebahagiaan dari memberi sesuatu. Kalo begitu, kenapa enggak kita hidup dengan tujuan membahagiakan orang lain?
Di sanalah engkau akan menemukan kebahagiaan hidup. Trust me, Mother Theressa knows it well. Alexander Graham Bell too. Don't forget Marrie Currie. Oh, how 'bout Gandhi?
gw termasuk yg setuju dan mengakui bahwa segala sesuatu yg diraih melalui usaha dan perjuangan akan membawa hasil akhir yg sesuai pula
ReplyDeletedalem ...
ReplyDelete[mood status=picky]
salah tuh nulis "marie curie".
[/mood]
Ok, gue lagi ingat kari ayam kali, yah. Thanks, Ham.
ReplyDelete