Prihatin baca berita minggu ini. Ada peristiwa penurunan patung Buddha di Sumatera Utara. Lalu, ada kesenian wayang yang terancam punah karena dilarang pentas di Jawa. Lalu saya bertanya, apakah esok hari saya akan diseret dari rumah saya?
Dengan enaknya seorang dari mayoritas berkata bahwa orang bisa bebas beribadah kalau melanggar hukum. Duh, bagaimana dia bisa mengerti sakitnya hati orang minoritas yang tidak bisa bersuara terhadap keputusan hukum? Ketika UU Pornografi disahkan, kami kaum minoritas banyak menolak. Ya, kami, kaum agama lain, seniman, bahkan sampai Gubernur Bali yang notabene mewakili Bali.
Apakah dia tahu bagaimana rasanya sulit mengurus IMB untuk rumah ibadah? Bahkan tempat ibadah yang memakai surat menteri pun bisa diprotes. Dia tidak tahu rasanya bagaimana setiap hari orang harus was-was untuk tidak terpancing emosi. Dia tidak tahu rasanya kalau esok tiba-tiba tidak punya tempat untuk beribadah.
Tahukah dia rasanya menjadi minoritas? Tahukah dia bagaimana sakitnya ketika engkau dituduh bidah oleh sekelompok orang? Lalu dari desamu engkau dikejar dan tempat ibadahmu dibumihanguskan?
Ada ajaran yang dianut oleh minoritas ini mengajarkan cinta kasih. Tuhan kami mengajar bahwa kami harus mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Bahwa kami tidak boleh menyerang orang lain. Bahwa setiap manusia berharga di mata Tuhan. Bahwa memberikan pelayanan tidak boleh pilih kasih. Bahwa siapapun orang tersebut, kami wajib membantu.
Tapi, kami juga manusia. Kami juga warga negara. Kami juga butuh makan. Haruskah kami menjauhi ajaran agama kami dengan membumihanguskan balik warga "mayoritas" agar mereka juga menjadi minoritas seperti kami? Bukankah itu sama saja melawan ajaran yang berusaha kami pertahankan?
Dilema...
Di tengah-tengah perjuangan untuk mempertahankan bangsa ini dengan mengorbankan segala-galanya, kami bertanya:
Adakah tempat bagi kami di negara ini? Ataukah pelan dan pasti kami terseret mati? Ataukah jangan-jangan sebenarnya negara ini bukan untuk kami juga?
Dengan enaknya seorang dari mayoritas berkata bahwa orang bisa bebas beribadah kalau melanggar hukum. Duh, bagaimana dia bisa mengerti sakitnya hati orang minoritas yang tidak bisa bersuara terhadap keputusan hukum? Ketika UU Pornografi disahkan, kami kaum minoritas banyak menolak. Ya, kami, kaum agama lain, seniman, bahkan sampai Gubernur Bali yang notabene mewakili Bali.
Apakah dia tahu bagaimana rasanya sulit mengurus IMB untuk rumah ibadah? Bahkan tempat ibadah yang memakai surat menteri pun bisa diprotes. Dia tidak tahu rasanya bagaimana setiap hari orang harus was-was untuk tidak terpancing emosi. Dia tidak tahu rasanya kalau esok tiba-tiba tidak punya tempat untuk beribadah.
Tahukah dia rasanya menjadi minoritas? Tahukah dia bagaimana sakitnya ketika engkau dituduh bidah oleh sekelompok orang? Lalu dari desamu engkau dikejar dan tempat ibadahmu dibumihanguskan?
Ada ajaran yang dianut oleh minoritas ini mengajarkan cinta kasih. Tuhan kami mengajar bahwa kami harus mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Bahwa kami tidak boleh menyerang orang lain. Bahwa setiap manusia berharga di mata Tuhan. Bahwa memberikan pelayanan tidak boleh pilih kasih. Bahwa siapapun orang tersebut, kami wajib membantu.
Tapi, kami juga manusia. Kami juga warga negara. Kami juga butuh makan. Haruskah kami menjauhi ajaran agama kami dengan membumihanguskan balik warga "mayoritas" agar mereka juga menjadi minoritas seperti kami? Bukankah itu sama saja melawan ajaran yang berusaha kami pertahankan?
Dilema...
Di tengah-tengah perjuangan untuk mempertahankan bangsa ini dengan mengorbankan segala-galanya, kami bertanya:
Adakah tempat bagi kami di negara ini? Ataukah pelan dan pasti kami terseret mati? Ataukah jangan-jangan sebenarnya negara ini bukan untuk kami juga?
akal budi sudah dikalahkan hukum rimba. manusia menolak dikatakan nenek moyangnya dari hewan, tapi kok ya kelakuannya makin lama makin mirip ya :)
ReplyDeleteI know of being minority...
ReplyDeletesholat jum'at aja ada intelijen yang ngawasin dan nanya2 isi khutbahnya tiap minggu.. huehue..
susahnya nyari makanan halal..
susahnya ibadah di sini.
Istri pertama gue minoritas, yang agamanya tidak diakui sebagai 'agama' tetapi hanya sebagai kepercayaan dan karena itu di KTP-nya harus tertera agama mayoritas.
ReplyDelete@havban:
ReplyDeleteAnda sebagai warga asing saja sudah gerah, apalagi saya yang lahir di negara ini. Salam minoritas! :D
emang bang,, rasanya mau berontak sejadi-jadinya tp ga boleh !
ReplyDeletejd ga ada bedanya nanti sama si "mayoritas" .