The root of stupidity

Setelah mengikuti dan mengamati berbagai kegiatan pembodohan, mulai dari TO SMUN 81, LDKS SMUN 81, OSPEK/PMB/what ever u name it, gw jadi sadar, ada yang salah tentang kegiatan ini semua.

Pertama, kita bahas dari psikologis, menurut Chemtob dan kawan-kawan seperti dikutip oleh National Center for PSTD [ http://www.ncptsd.va.gov/facts/specific/fs_anger.html, 2005]. Perilaku yang mendatangkan trauma menyebabkan seseorang menjadi lebih ganas. Itulah sebabnya, mengapa senior yang telah diplonco oleh angkatan atasnya, berperilaku ganas dan berusaha melampiaskannya kepada angkatan yang di bawahnya, lalu angkatan yang di bawahnya membalas lagi kepada angkatan yang di bawahnya dan seterusnya.

Lebih parah lagi, ada suatu gejala yang sangat akut yang dialami oleh senior-senior tersebut: Post-power syndrome. Gejala ini seringkali timbul akibat dari lingkungan yang berubah dan hilangnya rasa aman dari lingkungan tersebut. Berle dalam bukunya Power seperti yang dikutip oleh Mitchell [http://www.csun.edu/~hfmgt001/Berle.htm,2003] menegaskan hal tersebut dalam poin keduanya:
feeling of hostility to their successors in power and corresponding groups.
Hal yang saya amati juga adalah perasaan cemburu atas apa yang kita rasakan tidak dirasakan oleh angkatan bawah.

You think u don't feel that way? Coba test diri Anda, ketika Anda melihat Maba berperilaku seperti biasa, apakah Anda merasa tersinggung? Gw, jujur, merasa agak tersinggung ketika mereka seenaknya melakukan beberapa hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Tetapi, jika kita nalarkan secara sehat, wajar-wajar saja mereka berlaku seperti itu, jika mereka memang rekan-rekan kita, maka wajar saja mereka memiliki pemikiran yang berbeda dengan kita dan kita seharusnya menghargainya.

Untuk hal yang selanjutnya, kita juga perlu bercermin dari sejarah. Sebenarnya, hal-hal di atas bermula dari pelatihan militer yang dimulai semenjak Keputusan Menteri PTIP Nomor 1/1962 tentang pembentukan korps sukarelawan di perguruan tinggi. Kemudian, hal tersebut berkembang lebih jauh dan terkultus dalam Menwa (Resimen Mahasiswa) [http://ksatrian.or.id/menwa/id60-2.htm, ... ].

Kalo kita lihat masa lalu, orang yang masuk Menwa itu sangat dikagumi, bahkan memiliki kecendrungan popularitas yang sama dengan masuk BEM atau pun sejenisnya. Juga kita lihat, pelatihan militer menjadi populer di kalangan akademisi untuk diterapkan kepada maba terutama semenjak pak Harto bertahta. Pelatihan militer berkembang dari universitas ke sekolah tinggi (SMP/SMA)

Tetapi, ada kelemahan dari pelatihan militer yang dilakukan oleh dan untuk akademisi yang notabene adalah rakyat sipil:

  • Pendidikan militer memiliki silabus dan memiliki tujuan dan setiap tindak-tanduk pelatih dievaluasi secara komprehensif. Sedangkan sipil, tidak memiliki pedoman apa yang benar dan apa yang salah, sehingga dengan mudah tujuan itu melenceng.

  • Tujuan pelatihan militer adalah menghasilkan individu-individu yang disiplin dan tunduk kepada perintah atasan sehingga bersedia mati untuk setiap perintah. Berbeda dengan itu, tujuan dari akademis adalah menghasilkan pikiran-pikiran kritis dalam kesamaan dan membangun argumentasi yang sehat dalam pemikiran. Intinya: Tentara itu trust and obey, akademisi itu Trust nothing but fact and science.

  • Militer dibuat untuk tetap dalam suasana perang, sedangkan akademisi dibuat untuk membuat suatu peradaban menuju masyarakat yang nyaman. Perbedaan fungsi ini, walaupun saling mendukung satu sama lain, membuat keduanya memiliki perbedaan falsafah kehidupan.


Wuih, gw udah lupa mo ngomong apa saking banyaknya fakta yang gw paparkan yang menjadi landasan pikiran gw. Udah, deh, dari pada lebih panjang, nanti malah jadi tesis mending gw singkat, deh. :P

Untuk membuat suatu hubungan yang langgeng, pendekatan represif bukanlah hal yang dibenarkan. Dari survey amatir yang gw lakukan di Fasilkom, selalu saja ada dari tahun ke tahun orang-orang yang sakit hati kepada seniornya. Duh, udah bikin dosa malah bikin orang lain juga jadi dosa.

Sudah saatnya pola pikir militeristik kita hilangkan. Sudah saatnya kita lebih memakai pendekatan humanistik, where the rest of the modern world use it extensively.

Yang perlu menjadi dasar argumen yang sehat adalah sebagai berikut:
  • Apakah dengan disambut secara ramah, maka seseorang menjadi tidak ramah terhadap tuan rumah?
  • Apakah senior tidak lebih dihargai jika ia ramah terhadap bawahannya?
  • Apakah membuat seseorang menderita itu bukan dosa?
  • Apakah musuh bersama adalah sarana efektif untuk secara permanen menyatukan suatu grup?
Ada suatu idiom yang mengatakan: tidak ada teman/musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Maka, untuk menciptakan kebersamaan dan keberpihakan, ciptakanlah tujuan bersama yang hendak dicapai dan tanamkanlah itu melalui komunikasi bukan agresi.

We are smart brain-equiped people, not those barbaric people. Let's think elite and let's not fall into the same mistake again. Let's change and think wisely before we act because what we do is affecting the rest of the world.

Comments

  1. Lo selalu bisa menerjemahkan keluh kesah manusia2 dengan bahasa baku dan waw... >_< Mari hentikan dendam2 ngga jelas ini... yah, dikit2 bolehlah tapi =P

    ReplyDelete
  2. good point jep =P

    ReplyDelete
  3. # Chrans:
    We don't mention his name. Ups, who said it is he? .... *KABUR*

    ReplyDelete
  4. Anonymous5:46 PM

    mahasiswa katanya agen perubahan, tapi untuk urusan yg satu ini mending nurut senior :D

    ReplyDelete
  5. yang ngisi commentnya 2002 smua.. gw undang salah satu dari tim 23 ya... >:D

    ReplyDelete
  6. #Ramot:
    Silahkan aja, makin banyak yang ngisi makin bagus ... hehehehe [TREMBLED] *KABUR*

    ReplyDelete
  7. cardepus7:32 PM

    Gw liat akhir2 ini di angkatan bawah...kecendrungan yg terjadi mereka mau jadi tibum karena "keren" dan bisa berkuasa.

    Mudah2an hasil pengamatan gw ini salah :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts